Besides got the Lifetime Achievement award from Kompas newspaper, my dad's short story that have been written by him, also have been chose to be a "20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas". The title of the story is Kimpul.
KIMPUL
Awan hitam merangkak pelan. Awan seperti itu setiap hari
mengancam pada musim hujan dan merupakan isyarat tak lama lagi hujan
akan mencurah deras. Curah hujan belakangan ini memang tinggi. Banjir
dan genangan air kemudian menyusul di beberapa tempat.
Kimpul belum bergerak dari tempat duduknya. Sejak pukul delapan pagi
hingga pukul dua belas tengah hari itu belum seorang pun singgah dan
meminta jasanya. Biasanya, ia baru bergerak setelah hujan rintik-rintik
turun dan berlari jika rintik-rintik air itu bertambah besar. Terkadang
ia terpaksa siap untuk basah kuyup karena hujan deras mendadak turun
tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk berlindung di tempat berteduh.
Tempat berteduh yang nyaman bagi Kimpul
adalah Stasiun Besar di seberang jalan raya yang jaraknya kira-kira tiga
puluh meter dari tempatnya bekerja. Ke sanalah ia berlari dan
berlindung selama hujan mencurah. Berlari dan berlindung seperti itu
setiap hari harus dilakukannya selama musim hujan. Jika hujan tidak lagi
berderai Kimpul kembali ke tempatnya semula, menunggu siapa saja yang
membutuhkan jasanya.
Kimpul masih menunggu dan berharap. Mudah-mudahan ada orang yang
singgah ke tempatnya walaupun hanya satu orang karena selama dua hari
belakangan ini tidak seorang pun menyapanya dan duduk di kursi di
depannya. Ia menatap toko-toko buku baru dan buku bekas yang berjejer
tidak jauh di depannya, toko-toko yang menghambat pemandangan ke
lapangan di belakangnya. Dulu, semua toko buku itu tidak ada dan setiap
orang yang berada di Stasiun Besar, yang sedang melangkah atau
berkendaraan di jalan raya atau berdiri di tempat Kimpul duduk saat itu,
dengan leluasa dapat melihat lapangan di belakang toko-toko buku itu.
Di keempat sisi lapangan rumput itu terdapat parit yang membatasi
lapangan dengan lahan kosong yang lebarnya lima belas meter di
sekeliling lapangan. Tidak sedikit orang lalu lalang di lahan kosong
ini, karena di sana banyak gerobak yang menjual makanan dan minuman.
Para penumpang kereta api dari luar kota yang turun di Stasiun Besar
umumnya makan dan minum di lahan kosong ini.
Pada tengah hari, para penjual obat kaki lima berteriak-teriak
berkampanye di lahan kosong yang teduh di bawah kerimbunan pohon-pohon
besar yang telah puluhan tahun berdiri di sana. Semua penjual obat
berlomba memamerkan kehebatan mereka berorasi agar pengunjung yang
melingkar di sekitar mereka mau membeli obat yang mereka jajakan. Dan,
setiap orasi pastilah memuji kemujaraban obat. Begitu orasi selesai
biasanya ada saja pengunjung yang langsung membeli obat mereka.
Masih erat melekat dalam ingatan Kimpul bahwa seorang penjual obat
kaki lima itu berhasil meningkatkan diri menjadi bintang film. Semula ia
hanya menjadi figuran dalam film ”Lewat Jam Malam” yang disutradarai
Usmar Ismail. Ia kelihatan beberapa detik di layar putih, karena hanya
berperan sebagai orang yang harus berjalan kaki dari sebuah pintu ke
pintu lain yang jaraknya hanya tujuh meter. Tapi, setelah itu ia muncul
dalam beberapa film lain sebagai pemeran utama. Hebat si Djoni, ujar
Kimpul kepada dirinya sendiri.
Begitu cepatnya keadaan berubah, Kimpul membatin. Dulu, lapangan luas
itu selalu digunakan untuk tempat berbagai rapat umum dan upacara
peringatan hari kemerdekaan sambil mendengarkan pidato Bung Karno.
Ribuan murid sekolah SMP dan SMA diwajibkan hadir di sana untuk
mendengarkan pidato berapi-api Pemimpin Besar Revolusi yang gagah itu.
Di selatan lapangan rumput itu terdapat hotel megah peninggalan
penjajah Belanda. Kini hotel itu tidak kelihatan lagi karena telah
berganti dengan gedung milik sebuah bank dengan lapangan parkir yang
luas. Di utara lapangan, di Jalan Rumah Bola, terdapat sebuah tempat
pertemuan orang-orang Belanda yang setelah kemerdekaan diberi nama Balai
Prajurit. Balai itu sirna sudah karena di lokasi itu telah dibangun
sebuah pusat perbelanjaan yang senantiasa rampai pengunjung.
Kimpul merasa perubahan terjadi begitu cepat tanpa menyadari bahwa ia
telah empat puluh tahun menjual jasanya di pinggir lapangan itu sejak
berusia dua puluh lima tahun. Karena kondisi yang berubah ini, nasib
Kimpul turut berubah. Kalau dulu banyak orang yang satu profesi dengan
Kimpul bekerja di bawah pohon rindang di pinggir lapangan, kini hanya
dia dan seorang lagi yang masih menawarkan jasa di sana. Kalau dulu
tanah kosong yang mengelilingi lapangan terasa teduh karena beberapa
pohon rimbun berdiri kukuh di sana, kini tanah kosong itu lenyap sudah
karena seluruhnya ditelan ruko-ruko yang beroperasi hingga malam hari.
Cahaya matahari langsung jatuh di toko-toko buku itu, karena sebagian
pohon telah ditebang.
Sekarang, lahan kosong pun semakin sempit. Di lahan kosong yang
sempit itulah Kimpul dan seorang temannya membuka praktik sebagai
pemotong rambut yang lazim disebut tukang pangkas. Dengan hanya
bermodalkan sebuah kursi lipat, sebuah cermin yang diikatkan ke sebuah
tiang, seperangkat alat pemotong rambut yang dibawanya di sebuah tas
kecil yang kumuh dan sebotol air, ia siap melayani siapa saja. hingga
menjelang magrib.
Awan hitam yang merangkak tidak lagi kelihatan. Hujan juga tidak jadi
berkunjung. Hari kembali cerah hingga sore hari. Kimpul masih menunggu.
Ternyata tidak ada orang yang ingin meminta jasanya untuk memangkas
rambut. Ketika magrib memperlihatkan wajahnya, Kimpul mengambil cermin
dari tiang yang dipancangnya, mencabut tiang itu, melipat kursi yang
sejak pagi didudukinya, mengambil tas kumuh yang berisi alat-alat cukur
dan membuang air yang tersimpan dalam botol. Setelah itu dengan mengayuh
sepeda ia pulang tanpa memperoleh uang sepeser pun seperti dua hari
sebelumnya.
***
Ketika Kimpul terangguk-angguk karena mengantuk, ia mendengar
seseorang memanggil namanya. Ia segera membuka mata dan berdiri. Seorang
lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri di depannya
sambil tersenyum. Ia menyilakan laki-laki itu duduk di kursi lipat yang
sebelumnya didudukinya. Kimpul menduga laki-laki itu akan memotong
rambut. Laki-laki itu menolak dengan sopan dan tetap berdiri.
”Pak Kimpul, kan?” kata lelaki muda itu bertanya.
”Benar, saya Kimpul”.
”Masih kenal saya, Pak?”
Kimpul menatap laki-laki itu, memperhatikannya dan mencoba menggali
ingatannya. Ia tidak berhasil. Karena itu ia menggeleng dengan sopan.
”Saya Dasuki.”
”Dasuki?” Kimpul kembali mencoba membangunkan memorinya. Sekali lagi ia tidak berhasil.
”Tidak apa-apa, Pak, kalau tidak ingat. Maklum peristiwanya sudah lama sekali. Lima tahun. Cukup lama memang.”
Kimpul semakin tidak mengerti semua yang diucapkan laki-laki itu.
Jangan-jangan dia salah alamat. Mungkin saja yang dicarinya memang
Kimpul, tapi Kimpul yang lain. Laki-laki yang menyebut namanya Dasuki
itu tidak ingin melihat wajah Kimpul yang bengong seperti itu.
”Lima tahun lalu saya pangkas di sini. Pak Kimpul yang memotong
rambut saya. Ketika Bapak akan mencukur janggut, kumis dan cambang saya,
tiba-tiba turun hujan deras. Saya menyambar sepeda motor dan segera
memacunya ke stasiun itu untuk berteduh,” katanya sambil menunjuk ke
arah Stasiun Besar. Kimpul mendengarkan dengan serius.
”Saya melihat Pak Kimpul berkemas dan membawa semua peralatan Bapak
ke stasiun. Cuma, karena banyak orang di sana, saya benar-benar tidak
tahu di mana persisnya Pak Kimpul berteduh. Hingga hujan berhenti dan
semua orang meninggalkan emper stasiun, saya juga tidak melihat Pak
Kimpul. Karena saya harus segera kembali ke kantor, saya tidak kembali
lagi ke tempat Bapak bekerja. Saya langsung pergi dengan janggut, kumis
dan cambang yang belum dicukur. Saya buru-buru karena mempersiapkan
kepindahan saya ke Jakarta dua hari setelah itu.”
Kimpul masih dengan tekun mendengarkan penjelasan orang yang bernama Dasuki itu.
”Lima tahun saya terganggu karena belum membayar ongkos pangkas
rambut itu. Karena itu hari ini saya sempatkan ke sini, pada saat saya
sedang bertugas ke kota ini. Saya ingin membayar utang saya itu.”
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu ia mengambil uang dari sakunya
dan menyerahkan Rp 100.000 kepada Kimpul. Karena Kimpul masih tidak
memahami cerita laki-laki itu, ia diam saja dan tidak berani menerima
uang yang diulurkan kepadanya. Dasuki memberikan uang itu ke tangan
Kimpul dan menggenggamkannya.
”Permisi, Pak Kimpul, saya harus pergi sekarang untuk rapat. Kalau
sempat saya akan datang lagi,” kata orang yang bernama Dasuki itu sambil
melangkah pergi.
Kimpul merasa uang yang tergenggam di tangannya itu bukan miliknya.
Ia pasti salah alamat, pikir Kimpul. Karena itu Kimpul buru-buru
berjalan ke arah laki-laki itu pergi. Setelah itu ia berlari-lari kecil
di keempat sisi lapangan, namun laki-laki tidak ditemukannya. Ia kembali
ke tempatnya bekerja dengan napas tersengal-sengal. Kimpul benar-benar
tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang Rp 100.000 di
tangannya itu.
Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya. Akhirnya ia sampai kepada
kesimpulan bahwa semua yang diungkapkan laki-laki itu tidak benar dan
tidak pernah terjadi. Ingatannya cukup kuat untuk mengetahui semua itu.
Lalu mengapa ia memberikan Rp 100.000 sedangkan biaya pangkas lima tahun
lalu cuma Rp 5.000. Kimpul bergumam, dari mana pula orang bernama
Dasuki itu tahu namaku, padahal aku tidak pernah menyebutkan namaku
kepada pelanggan karena memang tidak ada yang pernah bertanya.
***
”Bagaimana Das? Ketemu dengan orang yang kamu cari?”
”Tidak,” sahut Dasuki menjawab pertanyaan istrinya.
”Lalu bagaimana?”
”Aku mengelilingi lapangan itu. Hanya dua orang tukang pangkas yang
aku temukan. Yang satu masih muda dan yang seorang lagi, aku rasa
berusia lebih dari enam puluh tahun. Mungkin sekitar enam puluh lima
tahun. Sebelum aku menghampiri orang tua itu aku bertanya dulu kepada
penjaga toko buku bekas yang kumasuki sebelumnya. Dialah yang memberikan
nama Kimpul itu kepadaku.”
Dasuki menunggu reaksi istrinya. Istri Dasuki menunggu kelanjutan cerita suaminya.
”Lalu aku datangi orang tua itu dan kuberikan Rp 100.000. Aku
ceritakan alasan mengapa aku memberikan uang itu. Dia bengong dan
mulanya tidak mau menerima uang itu. Tapi aku berikan uang itu kepadanya
dengan menggenggamkannya. Setelah itu aku pergi dan berjanji akan
datang lagi kalau aku masih punya waktu luang.”
”Kamu yakin bukan itu orang yang kamu cari?”
”Aku belum lupa wajah orang yang dulu memangkas rambutku. Pipinya
kempot, kepalanya botak dan tubuhnya ceking. Aku melihatnya begitu aku
selesai makan gado-gado yang enak di pinggir lapangan itu. Karena
kasihan aku segera menghampirinya, duduk di kursi kayunya dan memintanya
memotong rambutku. Padahal sebelumnya aku berniat memotong rambut di
barber shop di sebelah kantorku. Hanya karena aku ingin makan gado-gado
dulu makanya aku pergi ke pinggir lapangan itu, bertemu dengan orang tua
itu, jatuh kasihan dan memintanya memangkas rambutku.”
Melihat Dasuki menceritakan hal itu dengan lancar istrinya tersenyum
dan tidak bertanya apa pun. Dasuki yang merasa perlu memberikan
penjelasan lebih lanjut.
”Orang yang kuberi Rp 100.000 itu berambut lebat, beruban dan tidak
kurus. Tapi dengan memberikan uang itu aku merasa utangku telah
terbayar.”
”Kamu yakin akan merasa tenang setelah membayar utang itu walaupun bukan kepada orang yang berhak menerimanya?”
Lama Dasuki menunduk dan terdiam. Kemudian ia menengadah dan menatap istrinya.
”Aku tidak tahu. Aku harapkan begitu.”
Jakarta, 20 Juni 2011
No comments:
Post a Comment